Psikologi agama

Psikologi agama adalah cabang ilmu psikologi, produk dunia Barat yang lahir abad ke-19 dan abad ke-20. Di abad pertengahan, bumi dipandang sebagai pusat semesta yang segala isinya diperuntukkan untuk manusia. Kemunculan heliosentrisme Copernicus, teleskop Galileo, cogito Rene Descartes, serta fisika Isaac Newton menggeser posisi manusia hanya sebagai bagian dunia. Ilmu alam berkembang pesat, bahkan bukan hanya meneliti alam tapi juga manusia. Origin of Species karya Darwin adalah karya monumental di wilayah sains manusia dimana manusia dipandang sebagai: makhluk di antara makhluk lainnya. 20 tahun kemudian, Prof. Wilhelm Wundt (Univesitas Leipzig, Jerman) membuat laboratorium perilaku manusia. Psikologi ilmiah modern lahir tahun 1879. Dalam pengembangan psikologi ilmiah modern, agama belum dapat perhatian karena dianggap di suci, di luar kajian . Belum ada kajian psikologi agama selama abad ke-19.
Baru pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, terbit dua buku The Psychology of Religion (1899) karya Edwin D. Starbuck, dan The Varieties of Religious Experience (1902) karya William James, yang merintis fenomenologi agama dari sisi psikologi. Pada awal abad ke-20, James H. Leuba, George Coe dan Stanly Hall mengembangkan psikologi agama, yang bertumpu pada karya Starbuck dan James. Namun, pada tahun 1930-an terjadi kemerosotan psikologi agama, alasannya ketidakacuhan ahli agama dan psikologi serta pesimisme pengembangan psikologi agama. Faktor lainnya, kecenderungan positivistis dan behavioristis. Psikologi dan agama belum saling menghargai. Psikologi agama mencoba mendamaikan psikologi dan agama.
Perdamaian psikologi dan agama dimungkin dengan menjawab: apa yang dipelajari bila orang meneliti agama? Apa yang dipelajari psikologi agama? Materi apa yang coba dimengerti? Apa yang dilakukan orang saat menjalankan agama?
Secara normatif, agama sulit dimengerti karena definisi-subjektif dari tiap definisi yang dibuat. Karena itu, pendekatan normatif diubah ke pendekatan fenomenologis. Bagi psikologi agama pertanyaannya bukan “apa agama itu?” atau “bagaimana agama itu seharusnya?”, tetapi “ apa yang disebut orang sebagai agama bagi manusia?”; “lewat jalan apa manusia menemukan nilai yang paling tinggi dan mendapatkan arti hidup mereka?” ; “apa yang mendorong mereka sehingga seolah-olah yang mendorong itu merupakan ‘suara Tuhan’?”; Psikologi agama menekankan pada peranan agama bagi pribadi manusia. Tugasnya dalam mempelajari berbagai kegiatan yang bercorak keagamaan dan mengajukan pertanyaan tentang peranannya dalam kelestarian dan pengembangan pribadi. Secara singkatnya, pusat perhatian psikologi agama adalah: 1) bentuk-bentuk institusional yang diambil agama; 2) arti personal yang diberikan orang pada bentuk-bentuk itu; 3) hubungan faktor keagamaan dan seluruh struktur kepribadian manusia. Selanjutnya, pada penjelasan di bawah ini akan dipaparkan bagaimana wacana yang terbangun dan berkembang dari tiga persolan yang menjadi pusat perhatian psikologi agama tersebut.
BENTUK INSTITUSIONAL AGAMA
Bentuk Institusional agama mencakup peraturan, dan praktik dalam masyarakat yang terkait dengan tradisi keagamaan. Ada tiga bentuk institusional agama:
Pertama, denominalisme dan sektarianisme. Lembaga-lembaga utama yang terbentuk selama berabad-abad yang menjadi perwujudan nilai dan arti keagamaan. Dapat dikatakan juga sebagai agama induk, walaupun memiliki cabang-cabang. Contoh: islam sunni, islam syiah, dll. Kedua, kelompok independent lepas dari agama, tapi disebut agama. Perwujudan organisasi intern, terlepas dari induk agama. tipe kedua ini menjadi semacam “kritik” atas agama induk. Contoh: theosofi, meditasi transendental dll. Ketiga, nilai dan norma yang yang diikatkan pada struktur, tidak bersifat keagamaan. contoh: agama kemasyarakatan (civil religion).
ARTI PERSONAL AGAMA
Bagaimana orang mengartikan agama dalam penghayatan pribadinya? Dalam sejarah penghayatan agama, agama tradisional kerapkali ditolak karena telah bercampur dengan budaya, yang berakibat penekanan kuat agama pada sisi kelembagaan, yang ternyata, kadang berseberangan dengan jiwa ajaran agama. Lahirlah para “pembangkang” yang menekankan penghayatan agama secara personal. Bentuk-bentuk pembangkangan tersebut antara lain:
Agama yang tidak religius. Bentuk dan kelembagaan agama dijalankan, tetapi isi agama diabaikan. Hal ini disebabkan oleh identifikasi agama dengan budaya dimana agama dikorbankan demi budaya. Oleh sebab itu, ada fenomena, orang “berpakaian” agama, tetapi tidak religius! Bagi para pembangkang model ini, agama adalah keberadaan, bukan kelembagaan, dan iman adalah “kata kerja”, bukan “kata benda”.
Agama sebagai ketidakpercayaan. Agama adalah kesediaan mendengar firman Tuhan, dan melaksanakan-Nya. Bentuk-bentuk agama, yang merupakan produk sejarah, menjadi penghalang, perusak, yang membuat tuli orang beragama karena yang menjadi fokus adalah bentuk-bentuk agama, seperti: ajaran, format ibadah, hukum, dan peraturan berperilaku.
Berdasarkan penghayatan imannya, William James dalam The Varieties of Religious Experience membagi penganut agama sebagai berikut:
Kategori
Agama sebagai sumber semangat
Agama sebagai kebiasaan yang membosankan
Ciri
Gairah, terlibat, bersemangat tinggi, penuh vitalitas
Dingin, pasrah tanpa emosi, tak bersemangat, plegmatis
Penilaiaan
Jiwa yang sehat, healthy-mindedness
Jiwa yang sakit, sick soul

Sikap jiwa
Positif, optimistis, bahagia, spontan
Rasa penyesalan, penyalahan diri, murung, tertekan
Pendapat William James di atas menciptakan trend dalam studi psikologi dalam menafsir agama mengatasi bentuk-bentuk institusional. Dalam penafsiran tersebut dibedakan dua kelompok penganut agama: kelompok pertama , penganut agama yang menghayati agama secara formal, berdasar kebiasaan. Kelompok Kedua, penganut agama yang menghayati agama (iman) sebagai keterlibatan yang disadari. Bisa jadi, agama dan praktik keagamaannya sama, namun berbeda dalam dampaknya bagi kehidupan masing-masing.
Agama dan Otoritarianisme. Tahun 1950-an, beberapa peneliti di Kalifornia melakukan riset (salahsatunya) tentang hubungan agama dan prasangka (prejudise). Hasil risetnya adalah: tidak terlalu penting bicara tentang bagaimana cara orang menerima atau menolak agama. mereka membagi penganut agama berdasarkan prasangka: Pertama, penganut agama yang berprasangka; memanfaatkan ide, gagasan agama untuk keuntungan langsung, membantu memanipulasi orang lain. Agama digunakan untuk menghidupkan prasangka mereka. Kedua, penganut agama yang terlibat secara pribadi, agama tidak mendukung berkembangnya prasangka.
Agama Ekstrinsik-Agama Instrinsik. Gordon W. Allport membagi agama menjadi dua. Pertama, agama ekstrinsik: agama yang mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi ( termasuk gaya hidup, perilaku); agama berperan sebagai alat, budak kepentingan, keinginan, kebutuhan yang tak ada hubungannya dengan nilai agama dan iman, misalnya sosial, politik, ekonomi, budaya. Intinya, memanfaatkan agama. Kedua, agama instriksik: agama yang memenuhi seluruh hidup dengan motivasi dan arti; memberi arah hidup; kepentingan pribadi di bawah nilai agama. intinya, menghayati agama.
Agama Keterlibatan dan Agama Kecocokan. Robert O. Allen dan Bernard Spilka membagi agama menjadi dua. Pertama, agama yang cocok: agama dalam bentuk lembaga. Kedua, agam yang terlibat: segi internal, nilai, sikap yang kadang tak terrumuskan dengan jelas. Misalnya kasus pindah agama. jika pindah agama dalam arti cocok, kepindahan agama hanya sekedar berpindah keanggotaan dalam lembaga agama. sedangkan, pindah dalam arti terlibat, berpindah agama berarti perpindahan yang mampu membuat perubahan internal, termasuk nilai dan orientasi hidup. Perpindahan “terlibat” berarti orang masuk, dan menjadi penganut agama tertentu.
AGAMA DAN KEUTUHAN PRIBADI
Menurut psikologi “daya kemampuan” (faculty psycology), manusia dapat diterangkan lewat tindakan-tindakan yang berdiri sendiri. William McDougall berpandangan bahwa, insting adalah kekuatan yang memungkinkan tindakan manusia. Karenanya, kepribadian merupakan tujuan dari kegiatan insting. Bagi McDougall, agama bersumber pada pada gabungan sejumlah insting. Rumitnya metode ini adalah, seperti, memisahkan gunung dari lembahnya, atau melihat manusia sebagai mesin yang untuk mengerti harus membongkar bagian besarnya menjadi bagian-bagian kecilnya. Sekarang, pendekatan ini ketinggalan zaman. Meskipun demikian, jejak-jejak psikologi daya kemampuan masih bisa dilihat, seperti istilah: ciri, sikap, faktor sentimen, kecenderungan. Gordon W. Allport berpendapat, istilah ciri (trait) berguna untuk memahami pribadi. Ciri diartikan sebagai kekhasan tetap yang membedakan pribadi dengan yang lain. Namun, menurut Allport, ciri dengan mudah menjadi benda, atau dibendakan. Contohnya, si A berperilaku agresif, lalu menjadi si A memiliki watak agresif. Singkatnya, si A itu agresif, padahal, agresifitas hanya salahsatu bagian dari kepribadian.
Manusia Seutuhnya. Sejak abad ke-18 sampai sekarang, psikologi menekankan keutuhan pribadi manusia ditandai dengan terbitnya buku Traite du Physique et du Moral de L’homme karya Peirre Cabanis (1799) dengan tesis: penyakit fisik dapat berasal dari penyakit psikis. Gagasan Cabanis tentang fakta psikosomatis ditanggapi saat psikologi modern tumbuh, dan psikiatri masuk kurikulum pendidikan medis. Pendapat Cabanis ini mengukuhkan pendapat William James bahwa, kesehatan pribadi adalah jalan penyatuan unsur-unsur yang ada dalam pribadi manusia. Pengobatan psikosomatis berupa: diagnosis, pengobatan penyakit yang faktor penyebab utamanya tampak bersifat emosional, misalnya penyakit hipertensi. Saat ini, konsep manusia seutuhnya mempengaruhi praktik profesional medis.
 Nah, Dalam konteks psikologi agama, konsep manusia seutuhnya ini penting dalam analisis rasional. Bagaimana sesuatu dapat diketahui dengan tepat tanpa memecah keseluruhan menjadi bagian-bagian yang membentuknya? Tetapi justru karena harus memisakan agar dapat membuat analisis, psikologi agama harus terus menerus menyadarkan diri bahwa keseluruhan pribadi manusia lebih daripada kumpulan dari bagian-bagiannya
Rangkuman
Rumusan fenomenologis, fungsional memadai untuk studi agama secara psikologis. Dengan pendekatan fenomenologis, fungsional, agama mencakup: kepercayaan, perilaku, kelompok. Karenanya, materi psikologi agama adalah seluruh panorama pengalaman yang diyakini, diakui secara pribadi maupun bersama, sebagai wahana memberi arti, kesatuan hidup. Agenda psikologi agama “bukanlah hakikat iman, tetapi hakikat beriman”. Psikologi agama mengamati, membandingkan, mempertajam berbagai ungkapan yang berhubungan dengan agama, serta mempelajari tingkat penghayatan agama secara pribadi.

Tidak ada komentar: