Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya
kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini
tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (TQS al-Hadid [57]: 20).
Kesenangan dunia kadang melenakan. Tak sedikit manusia yang terlena
olehnya. Seolah dunia adalah segala-galanya sehingga seluruh hidupnya
dicurahkan untuk meraihnya. Untuk itu, mereka pun lupa dan lalai
mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Padahal, suatu saat mereka
harus berpisah dengan kehidupan dunia. Segala kenikmatan dan kesenangan
dunia pun berakhir. Sementara mereka tak memiliki bekal untuk akhirat.
Ketika itu terjadi, yang muncul adalah penyesalan tak berujung.
Agar tiada ada penyesalan, maka kehidupan dunia harus dipahami dengan
benar. Ayat ini memberikan penjelasan yang benar mengenai hakikat
kehidupan dunia.
Hanya Permainan dan Perhiasan
Allah SWT berfirman: I’lamû annamâ al-hayâh al-dun-yâ la’ib wa lahw wa zînah (ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, suatu yang
melalaikan, dan perhiasan). Kandungan ayat ini merupakan kelanjutan dari
ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai adanya dua
golongan manusia. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Dan kedua, orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka ini dipastikan menjadi penghuni neraka.
Kemudian dalam ayat ini dijelaskan tentang hakikat kehidupan dunia. Disebutkan bahwa kehidupan dunia tak lebih sebagai la’ib[un] wa lahw[un] wa zînat[un] (permainan, sesuatu yang melalaikan, dan perhiasan).
Menurut al-Biqai, al-la’ib berarti ta’ib lâ tsamrah lahu (keletihan yang tidak memberikan hasil). Sesuatu yang batil seperti mainan anak-anak. Al-Alusi
juga mengatakan, ungkapan tersebut untuk menggambarkan bahwa dunia
merupakan sesuatu yang remeh. Sesuatu yang tidak akan membuat tertarik
orang-orang berakal, apalagi merasa tenteram. Sebab, dunia adalah
permainan yang tidak menghasilkan sesuatu kecuali keletihan.
Adapun al-lahw, menurut al-Biqa’i, adalah sesuatu yang
menyenangkan manusia, hingga dapat melalaikan dan memalingkan dari
perkara yang berguna, kemudian berakhir seperti permainan anak-anak
muda.
Sedangkan zînah adalah sesuatu yang menyenangkan mata dan
jiwa seperti halnya perhiasan perempuan. Menurut Abdurrahman al-Sa’di,
perhiasan tersebut menghiasi pakaian, makanan, minuman, kendaraan,
tempat tinggal, istana, dan kehormatan. Allah SWT berfirman: Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang (TQS Ali Imran [3]: 14).
Di samping itu juga: wa tafâkhur baynakum (dan bermegah-megah antara kamu). Kata al-tafâkhur berarti al-takabbur,
yakni saling berlomba-lomba, memamerkan, dan membanggakan diri dengan
harta, nasab, kemuliaan, dan kedudukan mereka. Rasulullah SAW bersabda: Empat perkara pada umatku yang termasuk perkara jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan adalah berbangga-bangga dalam ahsâb (kemuliaan leluhur) (HR Muslim dan Ahmad).
Disebutkan pula: wa takâtsur fî al-amwâl wa al-awlâd (serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak). Artinya,
masing-masing orang menginginkan lebih banyak daripada yang lain dalam
harta dan anak-anak. Demikian Abdurrahman al-Sa’di dalam tafsirnya.
Menurut sebagian mufassir, sebagaimana dikutip Ibnu al-Jauzi dalam Zâd al-Masîr, apa yang disebutkan dalam ayat ini adalah keadaan orang kafir terhadap kehidupan dunia.
Akan Lenyap Tak Bersisa
Setelah tentang kehidupan dunia, kemudian diberitakan bahwa semua
kesenangan dan kebanggaan mereka itu akan lenyap tak bersisa. Realitas
ini digambarkan dalam kalimat selanjutnya: Kamatsali ghayts a’jaba al-kuffâr nabâtuhu (seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani). Menurut al-Razi, kata al-ghayts berarti al-mathar (hujan). Ini sebagaimana disebutkan dalam QS al-Kahfi [18]: 45. Sedangkan yang dimaksud dengan al-kuffâr di sini, ada dua pendapat. Pertama, bermakna al-zurrâ’ (petani).
Para petani itu terpesona dengan tanaman-tanaman yang tumbuh subur
akibat hujan lebat. Menurut al-Azahari, orang Arab menyebut petani
sebagai al-kâfir karena menutup benih yang ditanam dalam tanah. Kedua,
orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT. Mereka jauh lebih terpesona
terhadap keindahan dunia dan isinya dibandingkan kaum Mukmin.
Penyebabnya, mereka tidak melihat kebahagiaan lain selain kehidupan
dunia.
Tanaman yang terlihat subur, hijau, dan memesona tersebut kemudian berubah. Allah SWT berfirman: tsumma yahîju fatarâhu mushfarr[an] (kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning). Kata yahîju berarti yajiffu wa yaybasu (kering) setelah berwarna. Sedangkan fatarâhu mushfarr[an] menggambarkan
bahwa tanaman tersebut telah berubah; yang sebelumnya hijau dan segar
menjadi kuning dan layu. Demikian penjelasan al-Syaukani dalam tafsirnya
Fat-h al-Qadîr.
Bahkan lebih dari itu: tsumma yakûnu khuthâm[an] (kemudian menjadi hancur). Al-Syaukani memaknai frase ini sebagai futât[an] hasyîm[an] mutakassir[an] mutahathim[an] (hancur,
remuk, dan berkeping-keping). Dengan demikian, kehidupan dunia
diumpamakan seperti tanaman yang mempesona orang-orang yang melihatnya
karena warnanya yang hijau dan amat menyenangkan. Namun tak lama
kemudian hancur seolah-olah tidak pernah ada.
Kehidupan Akhirat
Setelah diingatkan tentang hakikat kehidupan dunia, kemudian
dijelaskan mengenai keadaan di akhirat. Di akhirat kelak hanya ada dua
keadaan. Pertama, azab yang pedih. Allah SWT berfirman: Wa fî al-âkhirah ‘adzâb syadîd (dan
di akhirat [nanti] ada adzab yang keras). Azab yang pedih tersebut
ditimpakan kepada orang-orang yang mengingkari Allah SWT dan
ayat-ayat-Nya. Juga orang-orang yang tertipu dengan gemerlap dunia dan
melupakan akhirat.
Dan kedua, ampunan dan ridha-Nya. Allah SWT berfirman: wa maghafirah minal-Lâh wa ridhwân (dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya). Ampunan dan ridha Allah SWT itu diberikan kepada para walinya dan ahl al-thâ’atihi (pelaku ketaatan kepada-Nya). Hal ini juga dtegaskan dalam banyak ayat, seperti QS al-Mulk [67]: 12.
Di akhir ayat ini kembali ditegaskan: wa mâ al-hayâh al-dun-yâ illâ matâ’ al-ghurûr (dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu). Dalam
kehidupan kehidupan dunia memang terdapat kesenangan dan kenikmatan.
Namun semua itu merupakan ujian dan cobaan bagi manusia. Jika manusia
terpedaya dengan ujian dan cobaan tersebut; habisan-habisan mengejarnya
hingga melupakan akhirat, maka dia telah tertipu. Di akhirat mendapatkan
siksa yang pedih.
Namun sebaliknya, jika kenikmatan tersebut digunakan sebagai sarana
untuk mendapatkan pahala dan ridha-Nya, maka dia telah sukses menghadapi
cobaan tersebut. Said bin Jubair berkata, “Dunia merupakan
kesenangan yang menipu apabila melalaikan kamu dari mencari ke akhirat.
Ada pun jika mengajakmu kepada mencari ridha Allah dan akhirat, maka itu
sebaik-baik wasilah (sarana).”
Inilah pandangan yang benar tentang hakikat kehidupan. Jangan sampai
menjadi orang yang tertipu dengan gemerlap dunia, melupakan akhirat! Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.[]
Ikhtisar:
1. Semua kenikmatan dunia bersifat fana, sedangkan akhirat bersifat kekal abadi
2. Kesenangan dunia tidak boleh melupakan akhirat. Sebaliknya, justru harus dijadikan sebagai sarana untuk meraih pahala, ridha, dan surga-Nya.
2. Kesenangan dunia tidak boleh melupakan akhirat. Sebaliknya, justru harus dijadikan sebagai sarana untuk meraih pahala, ridha, dan surga-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar