Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus
batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat
(aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu,
shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah
satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya
pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan
akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak
bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah
yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan
disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga
sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan
oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau
fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif
sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal
peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan
kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah
perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua
hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan (2) pendekatan diri
(muraqabah) kepada Allah.
Secara harfiah terdapat beberapa
penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara
lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan
perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai
sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa
kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir),
safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang
tinggal dekat Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qushaeri, keenam
pendapat tersebut di atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. Sedangkan
yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini
dinisbahkan kepada kebiasaan para sufi klasik yang memakai pakaian dari
bulu domba kasar sebagai simbol kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu
sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol, sejajar dengan taqammasa
yang berarti memakai kemeja.
Tasawuf secara sederhana dapat
diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha
mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan
bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki
kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau
hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak
sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan
meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang
ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama
sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah
sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Abdul
Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh
sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud. Kata
Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan
intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada
tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan
tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi
fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah
menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari
karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
Adapun tasawuf
yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka
sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif
(ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka
tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi
mempunyai dua corak: (1) tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada
dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi
tekstual; (2) tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan
penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan
pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf
sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara
sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka
syari’ah. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme
Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar
yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan
rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang
menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat
neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan
meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan
menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga
mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki
dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang
dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan
dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan
mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian
mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Sebagaimana
halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai
fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat
berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah
dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap
R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk
mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa
dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka
formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan
cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Tuhan dengan imaji
jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via
purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa
ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan
haqiqa. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini
memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan
proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah
yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orang-orang yang
berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi
tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual
digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang
antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat.
Station ini antara lain: (1) taubat, (2) zuhud, (3) sabar, (4) tawakkal,
(5) ridha, (6) mahabbah, (7) ma’rifah, (8) fana’, (9) ittihad, (10)
hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal
(jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang
sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual
yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi
hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama
(bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi
kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal
yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: (1)
muraqabah, (2) khauf, dan (3) raja’, (4) Syauq, (5) Uns, (6) tuma’ninah,
(7) musyahadah, (8) yakin.
Allah dalam surat al-Nisa ayat 77
menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan
akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar